Sering kita rasakan, namun tak kasat mata: Maritime Continent dalam Perikliman Duniawi

Laut dan Atmosfer yang perlu kita syukuri serta kita jaga untuk anak cucu kita nanti kelak.

Muhammad Yusuf Baiquni
8 min readMar 18, 2021
Awan awan konvektif pembentuk hujan besar Photo by Taylor Van Riper on Unsplash

Sering kali kita mendengar istilah Indonesia sebagai benua maritim. Bahkan sejak kita sudah di bangku Sekolah Dasar. Konsep Benua Maritim yang dijelaskan oleh Guru Sekolah Dasar saya, masih inget namanya Ibu Sumiyati. Beliau mengajar kelas 6 Sekolah Dasar, bahkan imajinasi waktu itu masih teringat. Yang beliau katakan begini “Indonesia merupakan benua maritim, yang dikelilingi 75 % oleh lautan dan hanya sekitar 25% terdiri dari daratan, Indonesia terletak di antara dua samudera besar, yakni samudera pasifik disebelah timur dan samudera hindia di sebelah barat, dan terletak diantara dua benua, benua Asia dan benua Australia. Lantas waktu itu, saya langsung berpikir ala anak SD yang punya imajinasi tinggi, mulai membayangkan tentang langit dan laut dengan mainan pesawat pesawatan kertas… Ngeng, pesawat pun terbang

Bla Bla… sampai sekarang konsep tersebut dapat menjelaskan banyak hal khususnya bidang Interaksi Laut dan Atmosfer.

Sebenarnya istilah “Maritime Continent” merupakan penyebutan para ilmuwan iklim dan oseanografi dunia. Kondisi dimana peran daratan (pulau — pulau) dan samudra disekitarnya berpengaruh besar dalam variasi iklim, anomali atmosfer dan laut skala lokal serta global. Wilayah ini, dinamai demikian karena distribusi kompleks dari beberapa pulau besar dengan orografi tinggi (curah hujan dan variasi suhu permukaan laut yang relatif hangat), juga dikenal sebagai ‘’boiler box ‘’, yang menempati domain 10°S — 20°N dan 90–150° E. Interaksi atmosfer dan laut yang terjadi pada area “Maritime Continent” merupakan salah satu yang sangat menarik untuk dikaji di wilayah tropis khususnya daerah ekuatorial yang berpengaruh terhadap wilayah disekitarnya.

Fenomena Lokal Interaksi atmosfer dan laut “Maritime Continent” adapted from Yoneyama and Chang, 2020

Overview

Air Sea Interaction

Dengan letaknya yang berada di garis ekuator dan dua samudera besar, dan berada diantara dua benua yakni benua Asia dan benua Australia, tentunya hal ini sangat berpengaruh terhadap kondisi atmosfer dan laut. Siklus harian serta pola hujan di area MC (maritime continent) mengenal 3 pola musim hujan, yakni monsoon, lokal, dan ekuatorial. Ketiga pola musim hujan tersebut tentunya didasari oleh sistem pengklasifikasian musim hujan berdasarakan area nya. Dalam proses nya, atmosfer di area ini sangat dinamis tentunya dalam pelepasan panas yang ditimbulkan akibat adanya gerak semu tahunan matahari. Dimana terjadi surplus energi panas matahari yang hampir terjadi di semua musim, hal tersebut dikarenakan posisi Indonesia yang berada di lintang rendah( 10° N — 10°S). Surplus energi matahari ini mengakibatkan Indonesia memiliki suhu permukaan laut yang relatif hangat ( 28°C — 30°C)

Suhu Permukaan Laut Tahunan adapted from Wallace and Hobbs (2006)

Kondisi suhu permukaan laut yang relatif hangat di area ini, juga berpengaruh terhadap pembentukan atmosfer yang tidak stabil, yang mengakibatkan banyaknya area konvektif (badai, siklon, gelombang atmosfer dan curah hujan yang tinggi) sepanjang tahun. Aktivitas konvektif ini mentransfer sejumlah besar energi panas atmosfer atas di atas Benua Maritim dan berkontribusi pada sirkulasi timur/ barat , yang dikenal sebagai Sirkulasi Walker.

Pada artikel kali ini saya akan menjelaskan sistem sirkulasi lokal yang melewati Indonesia, yang berpengaruh terhadap kondisi laut dan atmosfer

Warga dimari, pasti sering denger istilah ini “Muson” asal katanya dari bahasa Arab???

MONSOONS

Kata ‘monsun’ berasal dari kata Arab yang berarti ‘musim’. Saat kita berbicara tentang musim hujan, kita biasanya mengacu pada angin musiman yang menghasilkan curah hujan yang meluas dan terus-menerus di wilayah yang luas. Benua Maritim mengalami siklus musiman yang ditandai dalam karakteristik curah hujan iklim muson, terutama di selatan khatulistiwa dengan musim hujan utama berpusat pada Desember-Februari (DJF), dan puncak musim kemarau pada Juli-Agustus (Aldrian dan Susanto 2003; Giannini et al., 2007; Robertson et al.,2011)

Monsoon schema by BOM

Daerah monsun merupakan daerah dimana arah angin yang dominan berbalik arah paling sedikit 120° antara bulan Januari dan Juli. Januari adalah maksimum musim dingin di belahan bumi utara (BBU) dengan suhu rata-rata terendah di BBU dan Juli adalah maksimum musim panas dengan suhu rata-rata tertinggi di BBU.

Monsoon Asia-Australia from Climate Prediction Center NOAA

Apa Dampak nya terhadap kondisi atmosfer dan laut Indo??

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Yulihastin (2011)Terdapat dua Indeks yang membagi wilayah monsun di Indonesia, yaitu Indeks I untuk wilayah Belahan Bumi Utara (BBU) dan Indeks II untuk wilayah Belahan Bumi Selatan (BBS). Kedua daerah indeks tersebut didapatkan dari analisis klimatologi angin zonal pada ketinggian 850 mb. Beberapa penelitian terkait interaksi monsun dan MJO menunjukkan peningkatan curah hujan, sebagaimana menurut Lorenz dan Hartmann (2006) dalam kajian tentang pengaruh MJO terhadap Monsun Amerika Utara menyimpulkan bahwa anomali angin zonal di Pasifik Tropis bagian Timur yang berhubungan dengan MJO memberikan dampak kenaikan intensitas presipitasi hingga melebihi normal di wilayah Amerika Utara yang terpengaruh monsun selama beberapa hari atau seminggu setelahnya.

Aktivitas monsoon atau muson ini mengontrol kejadian musim kemarau dan penghujan, dengan bertiupnya angin dari Asia (musim hujan) dan angin dari Australia (musim kemarau).

Sudah pernah denger MJO??

MJO (Madden Julian Oscillation)

Istilah ini mungkin dihubungkan dengan fenomena hujan ekstrim, memang fenomena ini merupakan fitur atmosfer tropis berskala global. MJO adalah fluktuasi utama dalam cuaca tropis pada rentang waktu mingguan hingga bulanan. MJO dapat dicirikan sebagai “pulse” awan yang bergerak ke arah timur dan curah hujan di dekat ekuator yang biasanya berulang setiap 30 hingga 60 hari. Namun, sinyal MJO di atmosfer tropis tidak selalu ada. Efek MJO paling jelas terlihat di Samudra Hindia dan Pasifik ekuator bagian barat. Ini mempengaruhi waktu, perkembangan dan kekuatan pola monsun global utama, termasuk monsun Indonesia dan Australia. Siklon tropis juga lebih mungkin berkembang terkait dengan fase tertentu dari peristiwa MJO yang kuat. MJO dikaitkan dengan variasi angin, kekonvektifan awan, dan curah hujan. Sebagian besar curah hujan tropis berasal dari badai petir tinggi yang memiliki puncak yang sangat dingin. Fase MJO dapat dipantau melalui Indeks Multivariate (RMM), dimana area “Maritime Continent” berada pada fase 4 dan 5. Oleh karena itu, MJO dapat dipantau dengan menggunakan pengukuran satelit radiasi gelombang panjang (OLR) untuk mengidentifikasi area konvektif(OLR rendah) di daerah tropis. Outgoing Longwave Radiation ini diukur berdasarkan pantulan radiasi gelombang panjang, yang keluar melalui aktivitas konvektif dan menjadi salah satu indikator dalam pemantauan kekonvektifan suatu wilayah di permukaan bumi

Kondisi MJO sekarang

RMM (Real Time Multivariate) Index by Bureau of Meteorology Australia (BoM)

Indeks RMM diatas menunjukan fase MJO pada tiap wilayah yang dilewatinya, metode penentuan lamanya MJO didasari oleh aktivitas konvektif (curah hujan tinggi). Aktivitas konvektif yang terjadi di area “Maritime Continent” menjadi salah satu penghalang (barrier) yang mana mengakibatkan melemahnya kekonvektifan dari MJO setelah melewati area ini. Pada bulan bulan Oktober-April, aktivitas MJO meningkat yang mana hal tersebut berhubungan dengan penguatan monsun asia yang menguat.

Laut China Selatan!!

SCSTF (South China Sea Through Flow)

Pergerakan skala lokal ini diakibatkan oleh adanya variasi kedalaman antar perairan dan perbedaan letak geografis, yang dapat menimbulkan pergerakan baik atmosfer maupun laut. Laut Cina Selatan (SCS) memiliki rentang kedalaman perairan yang dilewati SCSTF ini termasuk tipe perairan dangkal hingga dalam. Laut Sulu dan Jawa melalui dangkal Selat Mindoro (∼200m) dan Karimata (<50m) dan di utara dengan Laut Cina Timur melalui selat Taiwan yang dangkal (<100m) dan dengan Samudera Pasifik melalui Luzon yang dalam selat (> 2000m), dengan kedalaman air maksimum melebihi 4000m.

Skema arus SCSTF by Qu et al.,2006

Pada area ini rata-rata menerima panas dari atmosfer dengan kecepatan mulai dari 20 hingga 50Wm. Data OAFlux terbaru (Yu dan Weller, 2007) dengan area yang dicakup. 3,5 × 1012 m2 di SCS, perkiraan ini menyiratkan penambahan panas (fluks) hingga 0,1–0,2PW (1PW = 1015 W) menunjukkan bahwa SCS juga merupakan penerima curah hujan tinggi, dengan nilai rata-rata tahunan 0,2–0,3 Sv ( 1 Sv = 1 × 106 m3 s − 1) di seluruh area (Qu et al.,2009)

Kompilasi rata-rata fluks panas dan fenomena tahunan (salinitas dan evaporasi) dari Qu et al.,2009

Apa pengaruh SCSTF bagi Indonesia??? Variasi Suhu Permukaan Laut dan Arus

Suhu Permukaan Laut di kepulauan Indonesia sangat bergantung pada jalur yang diambil SCSTF / ITF. Interaksi tahunan yang diakibatkan SCSTF ini ternyata berpengaruh terhadap variasi tahunan dari aktivitas Suhu Permukaan Laut, yang berhubungan dengan adanya fenomena perbedaan fluks panas serta distribusi curah hujan.

Arus laut yang menentukan Iklim Muson di Indo, nih. Selain SCSTF

ITF (Indonesian Through Flow)

ARLINDO yang merupakan kependekan dari Arus Lintas Indonesia, atau lebih dikenal oleh para ahli oseanografi dengan istilah “Indonesian Through Flow”, adalah aliran massa air antar samudera yang melewati Perairan Indonesia. Sebagai negara yang diapit oleh dua lautan besar yakni Samudera Pasifik di bagian utara dan timur laut serta Samudera Hindia di bagian selatan dan barat daya Indonesia berlaku sebagai saluran bagi aliran massa air dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia. Aliran massa air ini terjadi sebagai akibat adanya perbedaan tekanan antara kedua lautan tersebut Wyrtki, 1987.

ITF Gordon and Fine, 1996

Fenomena Arlindo sangat menarik perhatian ilmuwan iklim dan oseanografi seluruh dunia khususnya area tropis. Salah satu riset internasional yang pertama kali setelah ekspedisi eyang Klauss Wyrtki mengenai kondisi fisika oseanografi “Martime Continent” termasuk didalamnya pengukuran Arlindo, yakni proyek International Nusantara Stratification and Transport (INSTANT) yang merupakan joint research lima negara yaitu Indonesia, Australia, Amerika Serikat, Perancis dan Belanda. Salah satu tujuan proyek yang dimulai sejak Agustus 2003 dan kontinyu selama 3 tahun ini adalah mengukur besar dan kedalaman distribusi bocoran massa air yang berasal dari daerah ekuator barat Samudera Pasifik menuju selatan Samudera Hindia yang melalui perairan Indonesia. Pengukuran utamanya dilakukan di lima titik yaitu Selat Makassar, Selat Lombok, Celah Lifamatola (Laut Seram), Selat Ombai dan Celah Timor. Dari hasil pengukuran diperoleh rata-rata volume aliran massa air Arlindo mencapai 11 Sverdrup (1 Sv = 1 juta m3/detik).

Kompilasi data Suhu Permukaan Laut dan komponen pasut berdasarkan (Observasi dan Model NEMO) from Sprintall et al.,2019

Peran Arlindo bagi Indonesia dan Sekitarnya

Dengan adanya Arlindo yang melintas turut berpengaruh terhadap variasi musim, yang dipengaruhi oleh perbedaan suhu permukaan laut dan stratifikasi massa air yang terbawa melalui Selat Makassar dan celah celah yang dilaluinya (dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia). Bahkan apabila tidak ada Arlindo yang melintas Indonesia, akan berpengaruh terhadap suhu dan variasi antar tahunan di Indonesia, termasuk didalamnya sistem muson dan 3 tipe pola hujan.

Sekian yang bisa disampaikan terkait dengan Interaksi atmosfer dan laut di “Maritime Continent

Nantikan kelanjutan dari rangkaian artikel tentang fenomena Atmosfer dan Laut dari saya

Salam!!!

--

--

Muhammad Yusuf Baiquni

Large Scale And Chaos Theory of The Climate And Ocean Interaction. OceanicFluid Motion and Atmosphere Gasses [DOLDRUM AND OUTGOING LONGWAVE RADIATION]